Munculnya fenomena anak jalanan di Kota Solo semakin terlihat jelas di antara hiruk pikuk bisingnya suara motor dan transportasi. Di persimpangan jalan lampu merah terdengar nyanyian yang tak begitu jelas dengan musik seadanya mengharap sekeping demi sekeping rupiah untuk bertahan hidup dan demi untuk sesuap nasi. Itulah sketsa anak jalanan.
Anak-anak jalan tersebut sering kita pandang mereka sesuatu yang negatif, susah diatur, sampah masyarakat, berandalan, dll. Akan tetapi, dapatkah kita mengerti mereka adalah dampak modernnisasi dari negara berkembang seperti negeri ini, dampak dari kemajuan zaman, merekalah korban dari kemajuan kota yang tidak diimbangi dengan sistem ekonomi suatu negara yang kuat.
Coba kita bandingkan antara kota yang masyarakatnya individualime dengan masyarakat pedesaan yang menganut paham gotong-royong. Kehidupan masyarakat kota yang nota bene sangat individualisme sangatlah berpengaruh pada perilaku masyarakat itu sendiri, karena rasa dan pribadi yang individualisme akan membentuk sifat, akhlak, dan pribadi seorang remaja bahkan dewasa sekaligus menjadi tak terkontrol dan tak terkendali, bebas, dan suka-suka. Maka dari itu seringkali kita jumpai anak-anak jalanan di persimpangan perkotaan. Akan tetapi berbeda sekali dengan kehidupan di pedesaan yang pahamnya gotong-royong, mungkin kita tak pernah menjumpai anak jalanan ataupun anak yang telantar. Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi kita, dapatkah suatu pemikiran atau paham kehidupan perkotaan kita ganti dengan paham atau pemikiran masyarakat pedesaan. Karena langkah ini merupakan salah satu obat mujarab terhadap penyakit masyarakat yang terjangkit di kota ini. Pasti tak akan kita temukan lagi anak jalanan atau telantar. Karena harga diri, budi pekerti, dan kehormatan masih melekat dalam diri pribadi orang-orang yang lugu yang hidup di masyarakat pedesaan dan itu tak dapat kita sangkal.
Kehidupan anak jalanan sangat riskan dengan pergaulan bebas, tanpa memikirkan masa depan mereka. Kondisi dan keadaan yang buruk memaksa anak-anak jalanan memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk memperoleh hak-haknya dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah menjadi perjalanan hidup yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena alasan-alasan tertentu. Selain karena faktor ekonomi ada banyak faktor yang melatarbelaka mengapa mereka menjadi anak jalanan antaralain: karena masalah keluarga (Broken Home), akibat pergaulan bebas, dan fakor lingkungan yang menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi. Bahkan diantara kebanyakan berlatar belakang dari keluarga miskin atau dari kalangan menengah ke bawah yang tinggal di kampung-kampung padat/kumuh. Dan ada juga diantara mereka menghabiskan waktu hidup di jalan dan tinggal juga di jalan. Kurangnya lapangan pekerjaan juga dapat memicu tumbuhnya anak jalanan, karena di zaman yang maju seperti sekarang ini pendidikan yang memadai sangat diperlukan, dan anak-anak jalanan tidak memiliki kemampuan untuk itu. Rata-rata diantara mereka hanya mengenyam pendidikan dalam jenjang sekolah dasar atau sekolah menengah tingkat pertama, padahal realita yang terjadi di negeri ini banyak lulusan sarjana kesulitan dalam mencari pekerjaan, kecuali anak pejabat apapun itu bentuknya dan mereka yang berasal dari keluarga pengusaha mandiri.
Anak jalanan, dengan segudang nilai negatif dan kejelekan yang melekat pada diri mereka. Akan tetapi, apakah semua itu benar? Marilah kita coba masuk lebih dalam dari sisi-sisi kehidupan anak jalanan hingga yang paling dalam. Karena apapun dan siapapun mereka, mereka adalah manusia dan anak-anak yang memiliki tanggung jawab sekaligus hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam kehidupan dan bangsa ini.
Dalam kehidupan, mereka tetap memiliki nilai-nilai positif yang tidak pernah kita pikirkan. Di antara pergaulan yang terlihat masa bodoh, cuek, berantakan, terdapat rasa kemandirian dan kesetiakawanan yang tidak pernah terlintas di dalam benak pikiran kita. Bagaimana mereka makan tanpa menggantungkan hidupnya pada orang lain bahkan keluarganya sekalipun, bagi mereka yang penting makan, perut kenyang, tak peduli makanan apa yang mereka makan, bahkan merekapun terkadang juga tak peduli makanan itu layak untuk dikonsumsi atau tidak. Banyak di antara mereka yang terpaksa drop out untuk menopang ekonomi orang tuanya, dengan cara mengamen, membersihkan kaca-kaca mobil setiap berhenti di persimpangan lampu merah atau dengan cara menyemirkan sepatu orang-orang yang lewat di depan mal-mal dan juga halte. Mereka hidup mengikuti irama hidup yang ada, mereka hidup bagai air mengalir, dan merekapun siap menerima segala bentuk kehidupan hingga taraf terendah sekalipun. Mereka dapat tidur dimanapun, tak peduli tempat itu kotor dan tak terlindungi . Tak pernah terlintas dibenak pikiran mereka bagaimana cita-cita yang pernah mereka impikan selama ini. Itulah nilai positif dalam hidup kesederhanaan anak jalanan yang patut kita teladani bersama.
Diantara mereka anak jalanan, terjalin kesetiakawanan yang tinggi. Karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Pepatah jawa mengatekan “ Ora Mangan Wato Kumpul “ yang artinya, tidak makan asalkan kumpul. Dan apabila diantara temannya sedang mengalami suatu masalah, mereka rela membantu dan berkorban dalam bentuk tenaga ataupun materi. Mereka akan menyelesaikan persoalan atau masalah tersebut bersama-sama dalam komunitas kelompok. Itulah lika-liku kehidupan anak jalanan yang mampu mandiri, mampu bersatu, saling melengkapi, dan bahu-membahu dalam menjalani tantangan kehidupan di kota yang menawarkan sejuta kemewahan.
Pada hakikatnya, pribadi manusia apapun bentuknya dapat kita ubah dengan tatanan atau aturan-aturan tertentu. Begitu juga mereka anak jalanan, mereka dapat diarahkan dengan pembinaan dan pengawasan yang tepat dan tegas karena keberadaan mereka di setiap persimpangan tersebut merupakan suatu fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan bangsa ini. Maka dari itu, penanggulangan anak jalanan harus dilakukan secara professional, jika tidak anak jalanan akan berpotensi sebagai generasi yang hilang.
Akan tetapi seringkali aparatur pemerintah justru menyalahkan keberadaan mereka, bukan mencari solusi bagaimana mengentaskan mereka dari kehidupan jalanan. Aparatur pemerintah saat ini hanya mampu dalam batas penjaringan dan pembinaan saja tanpa memberikan pengawasan, apalagi dalam menyalurkan bakat dan tenaga mereka. Bila hanya sampai disitu saja, sia-sialah itu semua penyelesaian anak jalanan. Mereka anak jalanan akan kembali dalam kesulitan menyalurkan tenaga dan bakat mereka tanpa ulur tangan dari aparatur pemerintah dalam menyalurkan tenaga mereka, memulihkan percaya diri mereka dengan sikap “ penerimaan terhadap keberadaan mereka”. Kemungkinan besar mereka akan turun ke jalanan kembali menjalani kehidupan yang terdahulu, begitu dan begitu seterusnya mengikuti roda zaman yang terus berputar tanpa penyelesaian yang berarti.
SRI WARDANI
KELAS XII ADMINISTRASI PERKANTORAN
SMK KANISIUS SURAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar