Rabu, 13 April 2011

Biarlah Kardus Berbicara Siapa Mereka

Pasti tidak asing lagi di tengah kita tentang pemukiman perkampungan kumuh. Namun, apakah kita tahu yang dimaksud dengan pemukiman perkampungan kumuh ? Apa dampak negatifnya ?
Mungkin kita sering mendengar tentang rumah yang berada di bawah kolong jembatan atau di di bantaran sungai. Di Jakarta, biasanya perkampungan kumuh berada di bantaran sungai,sedangkan di Kota Solo, perkampungan kumuh berada di tengah kota, seperti Kampung Sewu,Gandekan,Mina Padi,Nayu,dll. 

Fenomena ini sering terjadi tanpa disadari, maksudnya banyak orang yang memang tidak berencana untuk tinggal di sana, namun karena faktor keturunan, mereka harus menetap di sana, seperti misalnya seorang kepala keluarga memberikan harta warisan berupa rumah yang berlokasi di daerah yang bisa dikatakan tidak layak tersebut pada anak-anaknya,padahal sebenarnya belum tentu anak-anaknya tersebut berkenan tinggal di situ. Yah… Jadi mau gimana lagi ? 

Faktor lainnya ialah salah satu hal yang sampai saat ini pun belum dapat diatasi oleh negara kita, yaitu KEMISKINAN. Lagi-lagi, faktor ekonomilah yang menjadi biang kerognya. Munculnya perkampungan kumuh sebenarnya dapat merisaukan pemerintah,juga masyarakat sekitar. Selain faktor-faktor di atas, faktor yang paling berpengaruh sehingga membuat warga yang tinggal di kampung yang kumuh tersebut tetap tinggal di tempat yang sudah tidak layak tersebut, ialah karena tidak ada keinginan untuk maju dan keluar dari perkampungan kumuh tersebut. Jangankan untuk membeli rumah yang layak, untuk makan pun sering tidak terpenuhi. 

Rumah dengan ukuran bangunan yang sempit tidak memenuhi standar kesehatan dengan kondisi rumah yang mengenaskan penuh “tambal sulam” kardus-kardus susu,kaleng-kaleng yang dibedah untuk menambal lubang-lubang kayu rumah yang dimakan waktu, gubug itu sewaktu-waktu roboh, apabila terkena banjir atau badai. Terkadang atapnya pun sudah berlubang, sehingga apabila hujan, rumah itu akan kemasukan air dan pasti mengganggu kegiatan penghuni rumah tersebut. Rumah yang berhimpit membuat rumah rawan kebakaran. Selain itu, kurangnya suplai air bersih serta jaringan listrik yang tidak tertata membuat kurang adanya penerangan di malam hari. Kebiasaan buruk membuang sampah dan membangun rumah darurat di bantaran sungai menyebabkan tersumbatnya aliran sungai yang mengakibatkan banjir besar. Kemudian, ketidaktersedianya sarana mandi,cuci,kakus,dan masak membuat warga di tempat itu terserang penyakit kulit, gangguan pencernaan, maupun penyakit-penyakit lain. Belum lagi penyakit sosial yang jarang terbayangkan. 

Selain itu ada dampak yang membuat anak-anak kehilangan haknya. Yaitu, dari kecil mereka sudah harus mengorbankan bangku sekolah dan masa kanak-kanaknya hanya demi membantu orang tuanya untuk mencari sesuap nasi. Mereka rela bekerja demi upah yang rendah di bawah mentari yang merusak kesehatan dan perkembangan fisik mental mereka yang pasti melanggar hak-hak anak. Mereka yang seharusnya dilindungi, bermain bersama teman-teman, sekolah, tapi malah bergaul dengan pekerjaaan orang-orang dewasa. Mereka harus bersusah payah, bekerja keras membanting tulang hanya untuk sesuap nasi yang belum tentu mereka dapatkan. Selain dampak negatif, pemukiman perkampungan kumuh juga memiliki dampak positif antara lain, di tempat itu kita dapat menemukan kehidupan sosial yang baik, terlampau baik malahan. Sampai-sampai tetangga kentut pun kita peduli. Bahkan warga di tempat itu, sering nonton bareng, noingkrong bareng, makan bareng ataupun tidur bareng. Kebersamaan dan rasa empati mereka sangat kental. Rumah yang berjarak 15 cm dan hanya dibatasi dengan tembok yang terbuat dari kardus atau papan membangun peradaban akrab yang sepenanggungan.
Karya: E. Dennis, 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar